Scooter

Scooter
Scooterku

Senin, 06 Juni 2011

Nelayan Masih Diabaikan

Sejarah kejayaan Nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah bahari, karena sejak abad ke-5 jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut internasional dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia, (Dick, 2008). Kemegahan Majapahit dan Sriwijaya dalam armada lautnya telah mengentarkan semua bangsa yang akan masuk ke nusantara.

Cerita di atas sekarang hilang pelan–pelan di benak anak negeri ini seiring dengan kondisi laut yang semakin rusak dan kondisi masyarakat pesisir terutama nelayan yang dilingkupi kemiskinan, penderitaan dan keterbelakangan. Kompleksitas kemiskinan di nelayan mengakibatkan berbagai program dan kebijakan oleh pemerintah belum mampu mengentaskan kemiskinan dikalangan nelayan, bahkan kesan diabaikan masih sangat kuat.

Nasib nelayan masih menjadi perbicangan para elite dan kekayaan laut menjadi jarahan pembajak luar negeri, nelayan menjadi penonton. Kita bisa melihat data statistik menunjukan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing . penduduk miskin menurut laporan BPS Tahun 1996 terdapat 22,5 juta orang miskin, Tahun 1998 79,5 juta orang (56,8 juta jiwa berada di pedesaan/baik pesisir ataupun desa daratan).

Sedangkan laporan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Tahun 2010 angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS terakhir mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan Bank Dunia melaporkan kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta. Data terbaru DKP menyebutkan, poverty headcount index (PHI) pada tahun 2006 sebesar 0,3214. Berarti, sekitar 32% dari 16,42 juta masyarakat pesisir di Indonesia berada dibawah garis kemiskinan. Melihat data ini ternyata kemiskinan di kalangan nelayan terus meningkat.
Ternyata kebijakan pengentasan kemiskinan mulai tahun 2006 sampai 2010 belum mampu mengurangi angka kemiskinan nelayan, bahkan semakin bertambah. Kemiskinan nelayan seiring dengan Nilai Tukar Nelayan yang sampai sekarang juga semakin mengenaskan. Kalau di petani ada Nilai tukar petani sekarang mulai menunjukkan kenaikan, di nelayan menunjukkan kemunduran. Menurut data DKP 2001 Jumlah seluruh KK nelayan tahun 1998 = 4 juta orang dengan pendapatan kotor per KK per tahun = Rp 4.750.000. Pendapatan kotor per KK per bulan = Rp 395.383.

Data statistik yang lain menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap DKP, pada 2007 rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya sebesar Rp 445.000 per keluarga per bulan. Berdasarkan hasil perhitungan BPS, NTN tahun 2008 terdapat peningkatan, yaitu hingga Desember 2008 mencapai angka 103,9. Jumlah ini meningkat sebesar 1,04% dibandingkan pada awal tahun, bulan Januari 2008 yang hanya sebesar 99,7. Artinya, pada akhir tahun 2008, nelayan telah dapat menyimpan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meskipun di awal tahun mengalami ketekoran biaya hidup. Melihat kondisi ini memang miris sekali kondisi keluarga nelayan. Dengan pendapatan 445.000/bulan mana mungkin mereka berpikir akan pendidikan, kesehatan, untuk kebutuhan pangan saja tidak bisa makan 3 kali sehari.
  
Kebijakan negara dalam upaya mengentaskan nasib nelayan ternyata gagal sampai sekarang. Berbagai kajian menunjukkan kondisi ini, selain jumlah nelayan miskin yang terus bertambah seperti hasil temuan Muhammad Karim (IPB) kurun waktu tahun 2002-2004 mengenai pemberdayaan nelayan di Deli Serdang, Asahan, Karawang, dan Sukabumi menunjukkan bahwa strategi neoliberalisme ini banyak diaplikasikan sehingga mengalami kegagalan pada tingkat implementasi.
  
Kegagalan ini disebabkan oleh rendahnya partisipasi nelayan dalam pelaksanaan kegiatan, keengganan mereka terlibat dalam program pemerintah dikarenakan programnya kadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Sebagai contoh program pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan nelayan seperti Program Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Nelayan (SPBN), Pembangunan Kedai Pesisir, dan Program Penguatan Modal bagi masyarakat pesisir yang bekerjasama dengan lembaga keuangan tidak menunjukkan hasil yang signifikan meningkatnya kesejahteraan nelayan kecil/tradisional pada umumnya. Menurut data KKP sampai dengan Mei Tahun 2008 telah terbangun 225 SPDN. Berapa milyar rupiah uang terbuang karena minimnya keterlibatan nelayan dalam penyusunan program yang benar – benar mereka butuhkan. Pemerintah seolah seperti Marxis yang menjadikan kapital atau uang sebagai sumber utama memobilisasi nelayan, padahal nelayan membutuhkan pendampingan untuk membangun harapan dan hari esok yang lebih baik.
  
Melihat nasib nelayan yang demikian menyedihkan sudah waktunya kita memposisikan nelayan menjadi warga negara yang terhormat dengan memberikan fasilitas dan berbagai kemudahan. Alangkah baiknya pemerintah meniru Jepang yang memberikan kredit murah dengan bunga 1 – 2 % per tahun sebagai modal usaha, kenyataannya sampai sekarag realisi KUR masih sangat rendah, beasiswa gratis bagi anak nelayan berprestasi agar bisa masuk perguruan tinggi, serta mengajak nelayan dalam upaya membuat berbagai kebijakan untuk kesejahteraan mereka. Seperti Jepang yang memberikan hak pengelolaan wilayah laut kepada nelayan tradisonal untuk meningkatkan kesejateraan mereka.
  
Dalam kehidupan berbangsa kita secara keseluruhan harus saling membantu. Tidak pantas apabila kekeyaan alam laut hanya mengalir kepada pemilik modal, nelayan juga membutuhkan. Kita perlu membantu kehidupan nelayan dan buruh nelayan yang secara historis tidak memiliki kemampuan teknologi untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak. Tetapi toh mereka sangat berjasa dalam menyediakan ikan bagi bangsa kita.
  
Membantu nelayan bermakna menjamin keberlangsungan kehidupan nelayan ditengah kondisi yang semakin sulit. Sekecil apapun bentuk bantuan kita akan sangat berarti bagi masa depan anak, istri dan keluarga nelayan. Marilah kita hormati pahlawan penyedia gizi protein nasional sebelum terlambat.

Revolusi PSSI

SEMARANG, KOMPAS.com — Nasib revolusi atau reformasi PSSI saat ini terancam gagal akibat semua orang merasa berjasa dalam penurunan Nurdin Halid sehingga merasa berhak mengatur badan sepak bola Indonesia itu.
Hal tersebut terkemuka dalam pembicaraan sejumlah penggiat sepak bola di Indonesia, Minggu siang  (5/6/2011) di Rumah Makan Anugrah Alam, Semarang, Jawa Tengah. Mereka membicarakan masa depan PSSI terkait adanya ancaman dikenai hukuman jika gagal melaksanakan kongres.
Apung Widadi dari ICW sekaligus koordinator Save Our Soccer (SOS)menyebutkan, reformasi PSSI bisa bernasib seperti reformasi politik 1998. "Saat ini semuanya merasa paling berjasa terhadap momentum penurunan Nurdin Halid. Jadi, semua merasa paling benar dan paling berhak bersuara dan mengatur," kata Apung.
Menurut Apung, sebenarnya ada isu yang lebih penting, misalnya tentang larangan penggunaan APBD dalam sepak bola. "Ini sebenarnya langkah yang bagus. Akan tetapi, justru yang digaungkan malah Kongres PSSI," kata Apung.
Pembicara lain, Ismangoen Notosaputo yang pernah aktif di sepak bola Jawa Tengah menyebutkan, sebaiknya PSSI tidak terlalu khawatir dengan hukuman FIFA. "Berdasarkan pengalaman, sanksi itu paling lama empat bulan. Kalau kepengurusan itu sudah diakui pemerintah, sanksi pasti dicabut," kata Ismangoen.
Ketua Pengcab PSSI Kota Semarang Yoyok Mardijo menyebutkan bahwa saat ini Komite Normalisasi (KN) sebaiknya juga berbicara tentang kompetisi dan pembinaan pemain muda. "Namun, saat ini KN malah hanya ngomong soal kongres," kata Yoyok.
Secara umum dalam sarasehan bertajuk "Meluruskan Kembali Arah Perjuangan Revolusi PSSI", para pembicara mengakui bahwa reformasi PSSI terancam gagal jika dalam tubuh KN tidak ada pembaruan, dan didominasi wajah lama yang merupakan kepanjangan tangan dari kelompok status quo.