Scooter

Scooter
Scooterku

Senin, 06 Juni 2011

Revolusi PSSI

SEMARANG, KOMPAS.com — Nasib revolusi atau reformasi PSSI saat ini terancam gagal akibat semua orang merasa berjasa dalam penurunan Nurdin Halid sehingga merasa berhak mengatur badan sepak bola Indonesia itu.
Hal tersebut terkemuka dalam pembicaraan sejumlah penggiat sepak bola di Indonesia, Minggu siang  (5/6/2011) di Rumah Makan Anugrah Alam, Semarang, Jawa Tengah. Mereka membicarakan masa depan PSSI terkait adanya ancaman dikenai hukuman jika gagal melaksanakan kongres.
Apung Widadi dari ICW sekaligus koordinator Save Our Soccer (SOS)menyebutkan, reformasi PSSI bisa bernasib seperti reformasi politik 1998. "Saat ini semuanya merasa paling berjasa terhadap momentum penurunan Nurdin Halid. Jadi, semua merasa paling benar dan paling berhak bersuara dan mengatur," kata Apung.
Menurut Apung, sebenarnya ada isu yang lebih penting, misalnya tentang larangan penggunaan APBD dalam sepak bola. "Ini sebenarnya langkah yang bagus. Akan tetapi, justru yang digaungkan malah Kongres PSSI," kata Apung.
Pembicara lain, Ismangoen Notosaputo yang pernah aktif di sepak bola Jawa Tengah menyebutkan, sebaiknya PSSI tidak terlalu khawatir dengan hukuman FIFA. "Berdasarkan pengalaman, sanksi itu paling lama empat bulan. Kalau kepengurusan itu sudah diakui pemerintah, sanksi pasti dicabut," kata Ismangoen.
Ketua Pengcab PSSI Kota Semarang Yoyok Mardijo menyebutkan bahwa saat ini Komite Normalisasi (KN) sebaiknya juga berbicara tentang kompetisi dan pembinaan pemain muda. "Namun, saat ini KN malah hanya ngomong soal kongres," kata Yoyok.
Secara umum dalam sarasehan bertajuk "Meluruskan Kembali Arah Perjuangan Revolusi PSSI", para pembicara mengakui bahwa reformasi PSSI terancam gagal jika dalam tubuh KN tidak ada pembaruan, dan didominasi wajah lama yang merupakan kepanjangan tangan dari kelompok status quo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar